Renungan: Matius 18

Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.
Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.”

“Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. Celakalah dunia dengan segala penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang mengadakannya.

Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal.
Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.

Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga. [Karena Anak Manusia datang untuk menyelamatkan yang hilang.]”

“Bagaimana pendapatmu? Jika seorang mempunyai seratus ekor domba, dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di pegunungan dan pergi mencari yang sesat itu? Dan Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu dari pada atas yang kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat.

Demikian juga Bapamu yang di sorga tidak menghendaki supaya seorang pun dari anak-anak ini hilang.”

Matius 18:1-14 (TB)

Anak kecil menggambarkan kehidupan yang polos. “Tidak tahu apa-apa”, anak kecil bergantung kepada orang tua yang yang bisa tahu mana benar, mana salah. Dengan demikian orang tua yang mengajarkan standar kebenaran yang salah akan turut menjadi orang yang bertanggungjawab atas kerusakan anaknya, turut bertanggungjawab atas kesesatan anaknya.

Tapi, bicara kesesatan, tidak terjadi pada anak saja. Orang dewasa pun, tidak luput dari kemungkinan disesatkan. Tidak orang-orang (dewasa) yang berada dalam keadaan mencari kebenaran. Orang-orang ini menjadi orang yang terbuka terhadap berbagai konsep baru yang ditawarkan, sehingga jika ada orang yang menawarkan suatu konsep kebenaran, konsep itu akan dengan mudah mengubah kehidupannya. Apakah itu konsep yang ditawarkan adalah konsep yang benar, atau sesat. Walau orang dewasa memang sudah memiliki rasio dan pemikiran lebih kuat, tapi saya harus mengakui manusia tidaklah sehebat itu.

Tidak sedikit pelaku kejahatan melakukannya dengan motif agama. Yakin betul apa yang dikerjakannya adalah benar (bahkan rela mempertaruhkan nyawa itu itu), dan tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang yang secara akademik sangat pintar. Kepintaran bukanlah jaminan orang kebal terhadap ajaran sesat. Sadarilah, pikiran manusia itu rapuh, setiap pikiran manusia selalu punya potensi untuk disesatkan.

Di bagian selanjutnya dari ayat yang kita baca, menyatakan betapa Allah mengasihi manusia, mereka yang “polos” dan “siap di bentuk”. Untuk menggambarkan ini, Ia memakai perumpamaan seorang gembala yang mencari domba yang hilang. Untuk kita di zaman ini, mungkin agak sulit untuk bisa menanggap keseluruhan pesan lewat perumpamaan ini. Tapi saya percaya, bagi para pendengar waktu itu, ini adalah perumpamaan yang sangat mengenai dengan hidup mereka. Jika ada seorang gembala yang mencari domba yang hilang ini — karena para gembala upahan pada umumnya tidak terlalu peduli dengan domba yang hilang karena, pencarian domba yang hilang selalu ada kemungkinan bertemu dengan binatang buas (saya dapat penjelasan ini dari mana) — pastilah Ia sangat peduli (mengasihi) domba ini.
Di bagian yang sama, Ia juga menjelaskan betapa Ia marah kepada orang yang “tega” menyesatkan kehidupan orang lain. Buat orang ini lebih baik “ikatkan batu pada lehernya dan dilempar ke dalam air”.

Allah begitu mengasihi manusia, tapi Ia juga begitu marah kepada sama yang “tega” menyesatkan sesamanya, sengaja, ataupun tidak sengaja.

Diterbitkan oleh

Tinggalkan komentar